Riwayat
Gedung STOVIA terlihat depan (1920).
Awalnya STOVIA ialah satu sekolah dokter yang masih berkembang dengan nama Sekolah Dokter Jawa yang yang dibangun pada tahun 1851 di Rumah Sakit Militer Weltevreeden atau yang saat ini disebutkan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto.[4] Semua staf dosen universitas itu datang dari dokter rumah sakit yang sama.[4] Selanjutnya kegiatan belajar mengajar serta sekolah itu dipindahkan di samping rumah sakit militer atas prakarsa H.F. Rool sang direktur sampai sukses selesai pada tanggal 1 Maret 1902.[2] Sebab perubahan yang cepat, STOVIA geser dari wilayah Kwini Senen ke Salemba yang sekarang jadi Fakultas Kedokteran Kampus Indonesia.[1] Universitas yang terdapat di Kwini semenjak tahun 1926 dialih-fungsi jadi tempat pendidikan MULO, satu tingkat SMP serta AMS, satu tingkat SMA.[3]
Lalu, saat Jepang datang pada tahun 1942-1954, gedung pertama digunakan jadi tahanan pasukan Belanda yang menantang Jepang. [4][3] Bersambung ke waktu kemerdekaan Indonesia tahun 1945 – 1973 gedung itu ditempati oleh keluarga tentara Belanda serta orang Ambon. [2]
Sebab nilai sejarahnya yang tinggi, terkait dengan kelahiran Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, pada tahun 1948 diputuskan jadi hari Kebangkitan Nasional.[1] Diluar itu, gedung ini adalah saksi lahirnya organisasi-organisasi gerakan berkebangsaan, yakni Boedi Oetomo, Trikoro Dharmo (Jong Java), Jong Minahasa, serta Jong Ambon. [4] Dan di gedung ini lah beberapa tokoh gerakan seperti Ki Hadjar Dewantara, Tjipto Mangoenkoesoemo, serta R. Soetomo pernah menimba pengetahuan.[3] Oleh karenanya, setelah itu pada tahun 1973 Pemerintah Propinsi DKI Jakarta memugar gedung itu, serta pada 20 Mei 1974 dengan presiden Suharto, diresmikanlah jadi Gedung Kebangkitan Nasional.[1]
Belum usai sampai disana, komplek gedung berupa sisi empat itu jadikan empat buah museum yakni Museum Budi Utomo, Museum Wanita, Museum Wartawan serta Museum Kesehatan hingga kemudian pada 7 Februari 1984 jadi Museum Kebangkitan Nasional. [2] Sedang keluarga dari Ambon yang tinggal dalam tempat itu dipindahkan ke perumahan Cengkareng Jakarta.[3][2] Museum ini diputuskan jadi Benda Cagar Budaya. Hingga resikonya gedung ini tetap harus dilestarikan, dijaga, serta tidak bisa dibongkar